Hukum Denda (Penalti)

Inilah Hukum Denda (Penalti)
Tanya:
Ustadz, mohon dijelaskan hukum denda (penalti) pada akad-akad muamalah. (Hanif Eka Meiana, Bantul)

Jawab:
Denda (al syarat al jaza'iy) adalah sejumlah ganti rugi finansial yang telah disepakati oleh dua pihak yangn berakad yang akan dibayarkan pada saat terjadinya pelanggaran terhadap suatu ketentuan (iltizam). (Ziyad Ghazal, Masyru' Qonun al-Buyu', hal 20)

Hukum syara' untuk denda adalah sebagai berikut; Pertama, denda hukumnya boleh jika obyek akad (ma'qud alaih) muamalah yang ada bukan hutang (ad dain). Kedua, denda hukumnya haram jika obyek akad muamalah adalah hutang (ad dain). (Ziyad Ghazal, Masyru' Qonun al-Buyu, hal 121-122; Sholah Showi dan Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u Tajir Jahluhu, hal 50).

Dalil bolehnya denda pada muamalah yang obyek akadnya bukan utang, adalah sabda Rasulullah saw, "Kaum Muslimin [bermuamalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR Abu Dawud No 3594 dan Tirmidzi No 1363)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya menetapkan syarat ja'liy, yaitu syarat yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berakad, selama syarat ja'liy tersebut tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Syarat denda (al syarat al jaza'iy) termasuk syarat ja'liy tersebut, sehingga hukumnya boleh, asalkan tidak melanggar hukum syara. (Sholah Showi dan Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u Tajir Jahluhu, hal 50).

Dalil tersebut diperkuat dengan pendapat sebagian shahabat dan tabi'in yang mengamalkan denda dalam muamalah bukan hutang. Imam Bukhari meriwayatkan 2 riwayat dari Ibnu Sirin (seorang tabi'in); Pertama, Ibnu Sirin berkata; "Seseorang berkata kepada pihak yang menyewa [unta], 'masukkan untamu [untuk kunaiki], lalu jika aku tak jadi berangkat bersamamu pada hari anu dan anu, maka bagimu 100 dirham." Berkata Suraih, "Barangsiapa menetapkan syarat untuk dirinya secara sukarela tanpa paksaan, maka dia terikat dengan syarat itu." (HR. Bukhari No 2584)

Kedua, Ibnu Sirin berkata, "Sesungguhnya pernah seorang laki-laki menjual makanan kepada pembeli. Pembeli mengatakan, 'Jika aku tidak mendatangi kamu pada hari Rabu, maka tidak ada jual beli antara aku dan kamu' Pembeli itu memang tidak datang [pada hari Rabu itu]. Syuraih berkata kepada pembeli, "Kamu telah menyalahi [akad]'. Lalu Syuraih memutuskan [denda] atas pembeli. (HR Bukhari No 2584)

Dua riwayat dari Ibnu Sirin di atas menunjukkan praktik denda di kalangan shahabat dan tabi'in. Pada riwayat pertama, denda dikenakan pada akad ijarah (sewa unta) yang tidak jadi (dibatalkan). Pada riwayat kedua, denda dikenakan pada akad jual beli yang tidak jadi (dibatalkan). (Sholah Showi dan Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u Tajir Jahluhu, hal 50).

Adapun haramnya denda jika obyek akad muamalahnya adalah hutang (ad dain), dikarenakan denda tersebut hakikatnya riba, yaitu tambahan yang disyaratkan atas utang (ad dain), baik hutang berupa qordh (pinjaman) maupun bukan qordh, misal utang pada jual beli. (Ziyad Ghazal, Masyru' Qonun al-Buyu, hal 120).

Mengenai haramnya tambahan atas utang, Imam Ibnu Abdul Barr berkata, "Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam al Quran adalah seorang pemberi utang mengambil kompensasi uang atau barang karena penundaan utangnya setelah jatuh tempo." (Ibnu Abdul Barr. al Kafi, Juz 2 hal 633)

Denda yang haram misalnya denda pada akad qordh (pinjaman) seperti utang uang. Haram pula denda pada akad ba'i as salam (jual beli pesan) dan bai al istishna (jual beli yang mensyaratkan pembuatan barang oleh penjual), karena pada kedua akad tersebut ada utang dari sisi penjual. Haram juga denda pada jual beli angsuran (bai bi taqshith) karena ada utang dari sisi pembeli.

Kesimpulannya, (1) Denda hukumnya boleh jika obyek akad muamalah yang ada bukan hutang, asalkan denda tersebut disepakati oleh kedua belah pihak pada saat akad. (2) Denda hukumnya haram jika obyek akad muamalahnya adalah hutang, sebab denda pada akad utang tersebut itu hakikatnya adalah tambahan yang disyaratkan atas utang. Ini jelas merupakan riba yang diharamkan dalam Islam. Wallahu a'lam. [KH Shiddiq Al Jawi]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

maaf ust untuk sumber kitab yang antum sebut di artikel bagian pembahasan ba'i salam dan ba'i istina' tidak boleh ada syartul jazai nya mohon refrensinya ust syukron

Back to Top